We Love Our Family - Ketika Kamu Memutuskan Pergi Sesaat
Liburan adalah waktu yang dinantikan setiap orang, begitupun denganku. melewati detik menjadi menit hingga jam bersama orang-orang tersayang tentunya menjadi hal yang sangat berharga. apalagi ketika setelah sekian bulan tak jumpa. Bersama selama kurang-lebih 4 hari harus dibayar dengan berpisah selama beberapa bulan tentunya harus meluangkan sedikit waktu.
Di bulan November yang indah dengan tetesan air nya yang mulai jatuh dari langit dan ditemani canda tawa seluruh anggota keluarga menjadi hal yang tak tertandingi. Apalagi ketika tangan-tangan kita mulai berjabat dan jemari-jemari kita mulai mengait satu dengan yang lain. Rasanya ingin untuk terus digenggam namun faktanya tak bisa berkata demikian. Jujur, pertemuan ini telah lama kunanti, semenjak 1 Agustus 2019 lalu, saat terakhir bertemu hingga November ini merupakan waktu terlama kita tak jumpa. Biasanya paling lama sebulan lebih sedikit kita tak bertemu. Dan itu dimulai ketika kamu memutuskan untuk pergi dari rumah terlebih dahulu sebelum aku. Pergi bukan semata kau bisa pulang seenak hatimu, seperti yang ku lakukan, melainkan benar-benar pergi dalam jarak yang cukup jauh walau dengan alasan yang baik.
Bolehkah kuceritakan sedikit tentang kepergianmu setahun lalu? Mengenai itu, aku sebenarnya mengetahui keinginanmu untuk mencari ilmu di tempat terbaik menurut kita. Awalnya aku biasa bahkan mendukung sangat keputusan itu. Hingga waktu yang itupun tiba. Setelah menempuh pendidikan menengah pertama, kamu memutuskan untuk pergi, pergi mencari ilmu yang sangat berharga yaitu ilmu agama. Aku mengetahui segala perjuanganmu, aku menjadi saksi bagaimana kamu belajar menembus tes yang ibarat sebuah benteng yang tinggi. Kamu berusaha melewati, melompati, mendobrak dan menaklukan benteng itu. Aku menjadi saksi bahwa kamu bertekad menembus impianmu. Hingga suatu ketika, kamu diharuskan untuk menjalani sebuah alur. Dimana kamu harus menetap disana selama 10 hari untuk menjalani serangkaian tes. Aku, Bapak, Ibu, Caca' dan Kaka mengantarmu dengan senang. Kami menginap disebuah saung yang disediakan di dekat lapangan. Menutupi saung tersebut dengan selimut pada malam hari karena menghalau angin yang masuk. Dan masih kuingat ketika Ibu dan Caca' tidur di jok belakang mobil yang sempit itu karena banyak nyamuk di luar. Sungguh pengalaman yang hebat. Tak kan kuteruskan cerita itu disini karena itu bukan pointnya.
Setelah pendaftaran itu, kami pulang kecuali kamu tentu saja. Sekitar H-2 pengumuman seingatku, kamu menelpon, mengatakan esok ujian. Kamu menangis takut tak bisa lolos. Dan menangis karena kamu merasa asing dengan sekitarmu. Karena kamu itu pengalaman pertamamu jauh dari kami. Bapak dan Ibu berusaha menenangkanmu lewat telepon. Aku mendengarnya, mendengar bagaimana tutur Ibu yang lembut dalam menenangkanmu walau kutahu dalam hatinya ia rapuh karena tahu kau menangis. Namun seorang Ibu tetaplah seorang Ibu yang hatinya selalu kuat untuk anak-anaknya. Saat itu aku menguping di depan kamar Ibu. Jujur, aku pun tak kuat mendengarmu menangis tapi aku gengsi, ku tahan airmata yang hendak turun hingga Bapak memanggilku agar berbicara denganmu, menyuruhku untuk menguatkanmu. Kau masih ingat dengan yang ku katakan?
" Ngono tok nangis, lagi wae seminggu. Terus nek ketampa piye? Mosok kon niliki setiap minggu. Kowe pasti iso kok. "
(Begitu saja sudah nangis, terus kalo dah keterima gimana? Masa disuruh nengok tiap minggu. Kamu pasti bisa kok.) Ucapku dalam bahasa sehari-hari. Ku katakan dengan nada mengejek seperti biasa ketika kami sedang ejek-ejekan satu sama lain. Namun sejujurnya, aku membodohi diriku sendiri. Setelah mengucapkan itu apalagi mendengar isakanmu lewat telepon, airmata yang sedari tadi sudah siap jatuh kembali akan jatuh. Aku memutuskan ke kamar, menutup pintu dan bersandar meloloskan apa yang sedari tadi ingin jatuh. Aku terisak dalam diam dan hanya aku yang tau itu. Bapak sempat menegurku di malam harinya karena aku malah mengejek kamu. Tapi aku diam tak membantah. Aku terlalu gengsi untuk mengakui bahwa aku juga sakit melihatmu menangis. Sampai kini pun begitu.
Pengumuman penerimaan datang, kami kembali lagi kesana. masih di saung yang sama, kami mendengarkan nama-nama yang disebutkan, pembagian tempat bagi siswa yang diterima. Lama kami menunggu kamu datang, hingga Ibu kemudian mencarimu. Aku menunggu di saung dengan adik-adik dan tentunya dengan perasaan cemas tak tentu. Bapak lalu menyusul Ibu, mencarimu. Beberapa saat kemudian aku juga ikut kesana. Dan saat pertama melihatmu, aku tahu dari ekspresi dan sorot matamu bahwa kamu gagal. Aku pun ingin menangis tapi aku harus menguatkanmu, aku harus menjalankan peran seorang kakak disini bagaimanapun perasaanku saat itu. Aku menemanimu mengambil koper di kamar yang kamu tempati selama beberapa hari dan saat kamu mengemasi barangmu aku menunggu diluar. Aku duduk di serambi dan disitulah aku akhirnya bisa mengusap beberapa tetes airmata yang kutahan sedari tadi. Dalam kamusku, aku tidak boleh menangis di depanmu.
Setelah kejadian itu, kami sempat bingung apakah kamu mau sekolah umum dulu sambil menunggu pendaftaran tahun depan ataukah kamu mau sekolah agama tapi di tempat lain dulu. Hingga kami menemukan solusi terbaik, kamu akan belajar agama dalam satu tahun ini agar waktumu tak terbuang dan untuk belajar bagaimana cara menembus tes ini lagi tahun depan, kamu pun setuju dengan hal itu. Esok harinya, kami langsung ke tempat dimana tempat itu akan menjadi rumahmu dalam setahun yang akan datang.
Semenjak kamu pergi, hampir di setiap malamnya aku menangis, merindukanmu. Berlebihankah aku? Menurutku tidak karena jika dipikir aku dan kamu tak pernah terpisahkan dalam 15 tahun semenjak kamu ada di dalam dunia ini. Kamu menjadi teman kecil, sahabat, saudara hingga rival. Kamu memenuhi segala aspek dalam hidupku. Kita yang biasanya bertengkar berebut handuk, kamar mandi, baju, makanan dan apapun itu. Kita yang biasanya saling tarik menarik rambut, dorong-dorongan sampai pukul-pukulan. Kita yang selalu berebut tempat tidur walaupun sebenarnya tempat tidur kita lebih dari cukup untuk kita berdua. Dan segala hal lain yang tak dapat aku sebutkan. Bertahun-tahun kita menjalani hari-hari itu dan tiba-tiba kamu memutuskan untuk pergi sesaat. Ku kira aku dulu yang akan meninggalkan kita, karena waktu itu aku kelas 11 dan akan kuliah. Tapi ternyata putri kedua dalam keluarga kita yang lebih dulu meninggalkan rumah kita. Walau dalam sebulan sekali kita bertemu, tapi rasanya tetap lain. Jujur aku rindu.
Aku tak menyalahkan takdir karena bagaimanapun ini sudah tertuliskan. Aku menyalahkan diriku karena tak dapat memanfaatkan saat-saat tinggal denganmu. Apalagi saat ini semakin sulit karena aku pun meninggalkan rumah. Aku bertanya, apakah kita maish bisa tinggal lebih lama di rumah kita seperti saat kita kecil dulu? Apakah kita masih bisa kembali seperti saat itu? Karena bagaimanapun caranya, nyatanya itu sulit. Setelah menyelesaikan study-ku aku pasti tak akan bisa berlama-lama di rumah, lalu aku akan sampai pada tahap dimana aku bekerja hingga menemukan seseorang dan menghabiskan semua waktuku bersamanya. Begitupun denganmu, setelah kamu menamatkan study-mu, kamu akan melanjutkan ke jenjang berikutnya lalu kamupun akan mengalami tahap yang kualami. Waktu itu tak akan pernah ada lagi kan?
Aku bersyukur, sangat bersyukur memiliki Bapak, Ibu, kamu, Kaka dan Caca'. Harapanku, semoga semua pertemuan kita ada artinya, semoga segala kebersamaan kita selalu berjalan dengan indah dan manis. Semoga keluarga kita selalu rukun dan harmonis. Dan segala yang kusemogakan lain.
Komentar
Posting Komentar